8 Maret 2011

Menilai Kebutuhan Peserta Didik


BAB I
PENDAHULUAN

Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Fakta-fakta dilapangan ditemukan sistem pengelolaan anak didik masih menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.
Dalam pendidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalui sebuah proses pengajaran diberikan. Sebagai seorang manusia menjadi sebuah aksioma bahwa peserta didik mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, para pendidik dan lembaga sekolah harus menghargai perbedaan yang ada pada diri mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik.
Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal. Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan tradisional konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Analisa Kebutuhan Menejemen Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam diyakini menjadi pil mujarab untuk menghadapi ‎tantangan kehidupan era global generasi bangsa agar berenergi untuk kencang bersaing ‎sehat dalam keidupan global dan menjaga immunitas dari serangan dampak negative era ‎globaliasi. Sebagaimana Azra mengutip Murata dan Chittik dalam The Vision of Islam, ‎‎1994, bahwa obat utnuk mengatasi berbagai problem masyarakat, seperti kelaparan, ‎penyakit, penindasan, polusi dan berbagai penyakit social lainnya adalah to return to God ‎through religion‎.
Namun seperti yang diungkapkan dimuka bahwa pendidikan agama Islam di ‎negara kita mengalami kegagalan, yang disebabkan karena beberapa factor di atas, untuk ‎itu perlu diadakan analisa kebutuhan guna mengetahui kesenjangan yang perlu dibenahi ‎dan merumuskan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam.
Sebetulnya ada tiga pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi ‎masalah-masalah pendidikan kaitannya dengan tuntutan zaman di antaranya adalah; ‎analisa kebutuhan, analisa tujuan dan analisa proses/ hasil/ pelaksanaan ‎. Namun disini ‎hanya akan menekankan pada analisa kebutuhan segi kurikulum.‎

  1. Teori Analisa Kebutuhan dalam Menejemen
Untuk menuju teori analisa kebutuhan khususnya dan teori analisa ‎kebutuhan pendidikan agama Islam pada umumnya perlu kiranya diawali dengan teori ‎kebutuhan manusia secara dasar. Maslow (1954) membagi kebutuhan manusia menjadi ‎dua kelompok utama, yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan tumbuh.
Kebutuhan dasar sebagaimana namanya berada di bawah posisi ‎kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar ini berturut-turut dari bawah ke atas adalah:
  1. kebutuhan fisiologis, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dll;
  2. kebutuhan akan ‎rasa aman;
  3. kebutuhan untuk dicintai;
  4. kebutuhan untuk dihargai. Sedangkan ‎kebutuhan tumbuh, hirarkinya berada di sebelah atas posisi kebutuhan dasar, berturut-‎turut dari bawah ke atas:
  5. kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (belajar);
  6. ‎kebutuhan keindahan;
  7. kebutuhan aktualisasi diri‎. ‎
Menurut M. Atwi Suparman kebutuhan adalah kesenjangan antara keadaan ‎sekarang dengan yang seharusnya ‎. Dalam redaksi yang berbeda tetapi sama intinya, ‎Morrison mengatakan bahwa kebutuhan (need) diartikan sebagai kesenjangan antara ‎apa yang diharapkan dengan kondisi yang sebenarnya. Keinginan adalah harapan ke ‎depan atau cita-cita yang terkait dengan pemecahan terhadap suatu masalah. ‎Sedangkan analisa kebutuhan adalah alat untuk mengidentifikasi masalah guna ‎menentukan tindakan yang tepat. Menurut Dr. Suharsimi Arikunto langkah-langkah analisa kebutuhan antara ‎lain: pertama, pengumpulan data, walau sederhana tapi sangat komplek. Kedua, ‎menciptakan iklim positif, Ketiga, rencana penilaian kebutuhan. Keempat, ‎melaksanakan penilaian kebutuhan. Kelima, peng-administrasian. Keenam, ‎menganalisis data yang terkumpul. Lalu memberikan tindak lanjut pada ‎pengembangan.‎

  1. Analisa Kebutuhan dalam Menejemen Pendidikan Agama Islam di Sekolah ‎Formal
Masih ada kesenjangan pendidikan agama Islam di sekolah formal selama ‎ini dengan kondisi yang seharusnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa ‎indikator. Sebagaimana Husni Rahim menyebutkan indikasi itu di antaranya,
  1. masih banyak anak yang telah belajar agama selama 12 tahun, tetapi umumnya tidak ‎mampu membaca al Qur’an dengan baik,
  2. tidak menjalankan ibadah dengan baik ‎dan tidak berakhlaq mulia ( tawuran, penyalah gunaan obat, minuman keras, ‎pergaulan bebas dan tindak asusila),
  3. meluasnya KKN (Korupsi, Kolusi dan ‎Nepotisme) yang disebabkan karena manusia bersifat konsumtif, karena gagal dalam ‎belajar agama sehingga mudah tergoda untuk berbuat tidak baik.‎ ‎ ‎
Mengapa hal ini bisa terjadi, Rahim memberikan gambaran factor-faktor ‎penyebabnya diantaranya adalah; materi pendidikan agama Islam terlalu akademis, ‎terlalu banyak topic, banyak pengulangan yang tidak perlu, tidak memperhatikan ‎aspek afektif karena hanya mementingkan aspek kognitif dan metode pengajaran Al ‎Qur’an tidak tepat.
Hal ini diperjelas dengan pernyataan Muhaimin bahwa kegagalan ‎pendidikan agama setidaknya disebabkan karena mengalami kekurangan dalam dua ‎aspek mendasar, yaitu; (a) pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat ‎simbolik, ritualistic serta bersifat legal formalistic (halal-haram) dan kehilangan ruh ‎moralnya, (b) kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ‎ranah kognitif dengan menyampingkan ranah psikomotorik dan afektif‎.‎
Muhaimin menambahkan bahwa; misalnya materi pendidikan agama Islam ‎di tingkat dasar bersifat serakah, yakni segala macam topic atau sub-sub pokok ‎bahasan yang sebenarnya menjadi bagian dari pokok-pokok pembahasan non PAI serta ‎menjadi tugas dan tanggung jawab guru non-PAI harus termuat dalam pelajaran PAI. ‎Materi PAI yang sebetulnya belum waktunya diberikan pada tingkat dasar misalnya ‎haji, zakat mal, sewa, waqaf dan lain-lain diberikan yang akhirnya menjebak guru PAI ‎pada transfer ilmu pengetahuan atau ranah kognitif belaka‎.‎
Hal ini disebabkan juga karena masih terdapat problematika pengajaran ‎agama Islam baik secara makro maupun mikro. Problematika makro di sini adalah ‎kendala-kendala yang ada hubunganya dengan masalah di luar sekolah menyangkut ‎kebijakan pemerintah mengenai pendidikan nasional. Sedangkan problematika ‎mikronya adalah menyangkut strategi pembelajaran dan kebijakan dari pimpinan ‎sekolah.
Sekolah melalui pendidikan agama mestinya dapat menghantarkan para ‎peserta didik untuk menjadi sumber daya manusia yang unggul dalam persaingan ‎hidup di jaman global. Keunggulan sumber daya manusia itu mencakup aspek moral ‎dan ketaqwaan di samping memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ‎keterampilan. Karakter lainnya yang dibutuhkan adalah keuletan, keberanian, dan ‎semangat kebangsaan.
Melihat permasalahan di atas maka pengelompokan analisa ‎kebutuhan, dapat dilihat secara mikro dan makro dengan penjelasan sebagai berikut ;‎
  1. Analisa kebutuhan mikro, Menurut Nur Fathoni mengutip I.N Sudana Degeng bahwa analisa kebutuhan ‎dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut:‎ Kebutuhan kondisi pembelajaran yang meliputi tujuan,v kendala-kendala ( ‎keterbatasan materi, keterbatasan waktu, keterbatasan media, keterbatasan ‎personalia, dan keterbatasan dana), juga karakteristik peserta didik.‎ Kebutuhan strategi pembelajaran yang meliputi : strategiv pengorganisasian, ‎penyampaian pelajaran dan pengelolaan.‎ Kebutuhan hasilv pembelajaran yang meliputi : efektifitas, efisiensi dan daya ‎tarik ‎. ‎‎
  2. Analisa kebutuhan makro, Kesenjangan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam pendidikan Agama Islam ‎dalam kontek pendidikan secara makro di Indonesia yaitu: Budgeting dalam system pendidikan nasional, Permasalahan mengenaiv ‎budgeting adalah masalah yang cukup pelik dan dilematis. Inilah masalah ‎utama yang menjadi rintangan dalam pelaksanaan pendidikan yang maju, adil ‎dan merata‎. Dikotomi lembaga pendidikan nasional. Banyak pakar pendidikan menilaiv ‎bahwa dikotomi lembaga pengelola pendidikan yang terbagi dalam ‎Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menjadi awal ‎permasalahan pendidikan yang ada dalam penyampaian materi pendidikan ‎keagamaan. Hal inilah yang menghambat proses internalisasi pemahaman nilai-‎nilai keagamaan yang termaktub dalam pendidikan agama. Sarana dan prasarana pendidikan yang belumv mendukung mengakibatkan ‎banyaknya hambatan yang terjadi pada proses penyampaian, pemahaman dan ‎penyerapan nilai-nilai moral keagamaan.‎

  1. Upaya Pendidikan Agama Islam Mengatasi Tantangan di Era Global

Secara garis besar aplikasi konsep analisa kebutuhan peningkatan mutu ‎pendidikan agama Islam di sekolah formal dalam menghadapi era globalisasi dalam ‎kaitannya dengan persaingan di segala bidang yang amat tinggi dan pengaruh dampak ‎negative era globalisasi diperlukan aplikasi analisa kebutuhan secara mikro dan makro.‎
Namun di sini penulis hanya merumuskan aplikasi analisa kebutuhan secara ‎mikro karena aplikasi analisa kebutuhan secara makro cakupannya sangat luas seiring ‎dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Analisa secara mikro di sini adalah; ‎

a)    Strategi Pembelajaran
Tujuan pembelajaran agama Islam yang harus dirumuskan dengan bentuk ‎behavioral atau berbentuk tingkah laku dan juga measurable atau bisa diukur. Hal ‎ini membutuhkan strategi pembalajaran yang khusus.Strategi disini adalah suatu kondisi yang diciptakan oleh guru dengan ‎sengaja yang meliputi metode, materi, sarana prasarana, materi, media dan lain ‎sebagainya agar siswa dipermudah dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ‎ditetapkan. ‎
b)    Metode Pembelajaran Agama Islam
Pendidikan agama Islam sebenarnya tidak hanya cukup dilakukan ‎dengan pendekatan teknologik karena aspek yang dicapai tidak cukup kognitif ‎tetapi justru lebih dominan yang afektif dan psikomotorik, maka perlu pendekatan ‎yang bersifat nonteknologik. Pembelajaran tentang akidah dan akhlak lebih ‎menonjolkan aspek nilai, baik ketuhanan maupun kemanusiaan yang hendak ‎ditanamkan dan dikembangkan pada diri siswa sehingga dapat melekat menjadi ‎sebuah kepribadian yang mulia.
c)    Materi Pembelajaran Agama Islam
‎Disamping perlu adanya reformulasi materi-materi PAI yang selama ini ‎menjebak pada ranah kognitif dengan mengabaikan ranak psikomotorik dan ‎afektif, materi PAI dipandang masih jauh dari pendekatan pendidikan multi ‎cultural, akibatnya masih banyak kerusuhan yang dipicu dari masalah SARA. Untuk itu materi pendidikan agama hendaknya merupakan sarana yang ‎efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. ‎Selain itu, pada masalah-masalah syari’ah pendidikan agama Islam selama ini ‎mencetak umat Islam yang selalu bertengkar antar pengikut madzhab. Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu memberikan pelajaran “fiqih ‎muqarran” untuk memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam ‎dan semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita untuk ‎menghormati. Sekolah tidak menentukan salah satu mazhab yang harus diikuti ‎oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah kepada mereka masing-masing ‎.‎
d)    Sumber Daya Guru Agama
Pada saat ini ada kecenderungan untuk menunjuk guru sebagai salah satu ‎factor penyebab minimnya kualitas lulusan siswa. Kritikan mulai dari ketidak ‎efektifnya guru dalam menjalankan tugas, kurangnya motivasi dan etos kerja, ‎sampai kepada ketidak mampuan guru dalam mendidik dan mengajar kepada ‎anak didiknya.
Untuk meningkatkan motivasi dan etos kerja guru maka factor ‎pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh. Untuk itu bagaimana mengarahkan ‎kekuatan yang ada dalam diri guru untuk mau melakukan tingkat upaya yang ‎tinggi ke arah tujuan yang telah ditetapkan.‎ Berbicara tentang motivasi tidak lepas kaitannya dengan beberapa ‎pandangan tentang terbentuknya kepribadian manusia melalui proses pola awal ‎terbentuknya motivasi dan beberapa teori kebutuhan manusia. Suparmin mengutip ‎Mc.Cleland yang mengelompokkan kebutuhan manusia kaitannya dengan ‎peningkatan motivasi dalam tugasnya sebagai guru adalah; need for achievement/ ‎kebutuhan untuk berprestasi, need for power/ kebutuhan untuk berkuasa, need for ‎affiliation/ kebutuhan untuk berafiliasi‎. Bila ketiga kebutuhan terpenuhi maka ‎motivasi dan etos kerja seorang guru akan tumbuh dan berkembang sebagimana ‎yang diharapkan.‎
e)    Fasilitas dan Media Pengajaran
Salah satu factor yang dibutuhkan dalam peningkatan mutu pendidikan ‎agama Islam di sekolah formal saat ini adalah : tempat ibadah (masjid atau ‎musholla), ruang bimbingan dan penyuluhan agama, laboratorium keagamaan dan ‎computer berbasis internet‎. Laboratorium tidak hanya dibutuhkan untuk pembelajaran ilmu bahasa ‎dan ilmu eksakta saja, tetapi semua materi pelajaran juga membutuhkan ‎laboratorium termsuk pelajaran agama Islam. Di dalam laboratorium akan ‎dilengkapi media-media pembelajaran.
Media pembelajaran yang bersifat audio visual sangat penting untuk ‎tercapainya tujuan pembelajaran, karena media pembelajaran ini berfungsi untuk ‎memberikan pengalaman konkret kepada siswa. Bila guru menyampaikan materi ‎agama dengan bermain kata-kata saja maka materi itu bersifat abstrak sama ketika ‎guru-guru di Eropa mengajar bahasa Latin pada abad 17‎. Muhaimin mengusulkan lima cara yang dijadikan dasar pertimbangan ‎dalam pemilihan sarana/ media pembelajaran PAI yaitu ; (1) tingkat kecermatan ‎representasi, (2) tingkat interaktif yang ditimbulkan, (3) tingkat kemampuan ‎khusus, (4) tingkat motivasi yang ditimbulkan, (5) tingkat biaya yang ‎diperlukan ‎. ‎
f)     Instrumen Penunjang
Mengingat pendidikan agama Islam adalah pendidikan yang universal ‎maka, dibutuhkan instrument penunjang antara lain : school culture, extra ‎kurikuler keagamaan, tim penggerak proses pendidikan keagamaan ( kepala ‎sekolah, dewan, guru, karyawan, komite, masyarakat sekitar, LSM dan alumni)‎.


B.   Kebutuhan Peserta Didik
Tingkah laku individu merupakan perwujudan dari dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan ini merupakan inti kodrat manusia. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kegiatan sekolah pada prinsipnya juga merupakan manifestasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu tersebut. Oleh sebab itu, seorang guru perlu mengenal dan memahami tingkat kebutuhan peserta didiknya, sehingga dapat membantu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka melalui berbagai aktivitas kependidikan, termasuk aktivitas pembelajaran. Di samping itu, dengan mengenal kebutuhan-kebutuhan peserta didik, guru dapat memberikan pelajaran  setepat mungkin, sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya.
Berikut ini disebutkan beberapa kebutuhan peserta didik yang perlu mendapat perhatian dari guru, di antaranya:
1)                          Kebutuhan jasmaniah
Sesuai dengan teori kebutuhan menurut Maslow, kebutuhan jasmaniah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang bersifat instinktif dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah peserta didik yang perlu mendapat perhatian dari guru di sekolah antara lain: makan, minum, pakaian, oksigen, istirahat, kesehatan jasmani, gerak-gerak jasmani, serta terhindar dari berbagai ancaman. Apabila kebutuhan jasmaniah ini tidak terpenuhi, di samping mempengaruhi pembentukan pribadi dan perkembangn psikososial peserta didik, juga akan sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar di sekolah.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaniah peserta didik ini, sekolah melakukan upaya-upaya seperti:
·        Memberikan pemahaman terhadap peserta didik tentang pentingnya pola hidup sehat dan teratur
·        Menanamkan kesadaran kepada peserta didik untuk mengonsumsi makanan-makanan yang mengandung gizi dan vitamin tinggi
·        Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk beristirahat
·        Memberikan pendidikan jasmani dan latihan-latihan fisik seperti olahraga.
·        Menyediakan berbagai sarana di lingkungan sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat bergerak bebas, bermain, berolahraga, dan sebagainya
·        Merancang bangunan sekolha sedemikian rupa dengan memperhatikan pencahayaan, sirkulasi udara, suhu, dan dan sebagainya, yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan nyaman
·        Mengatur tempat duduk peserta didik di dalam kelas sesuai dengan kondisi fisik mereka masing-masing.
2)                          Kebutuhan akan rasa aman
Rasa aman merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan peserta didik, terutama rasa aman di dalam kelas dan sekolah. Setiap siswa yang datang ke sekolah sangat mendambakan suasana sekolah atau kelas yang aman, nyaman, dan teratur, serta terhindar dari kebisingan dan berbagai situasi yang mengancam. Hilangnya rasa aman di kalangan peserta didik juga dapat menyebabkan rusaknya hubungan interpersonalnya dengan orang lain, membangkitkan rasa benci terhadap orang-orang yang menjadi penyebab hilangnya rasa aman dalam dirinya. Lebih dari itu, perasaan tidak aman juga akan mempengaruhi motivasi belajar siswa di sekolah.
3)                          Kebutuhan akan kasih sayang
Semua peserta didik sangat membutuhkan kasih sayang, baik dari orangtua, guru, teman-teman sekolah, dan dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Peserta didik yang mendapatkan kasih saying akan senang, betah, dan bahagia berada di dalam kelas, serta memiliki motivasi untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sebaliknya, peserta didik yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang akan merasa terisolasi, rendah diri, merasa tidak nyaman, sedih, gelisah, bahkan mungkin akan mengalami kesulitan belajar, serta memicu munculnya tingkah laku maladaptif. Kondisi demikian pada gilirannya akan melemahkan motivasi belajar mereka.
4)                          Kebutuhan akan penghargaan
Kebutuhan akan penghargaan terlihat dari kecenderungan peserta didik untuk diakui dan diperlakukan sebagai orang yang berharga diri. Mereka ingin memiliki sesuatu, ingin dikenal dan ingin diakui keberadaaannya di tengah-tengah orang lain. Mereka yang dihargai akan merasa bangga dengan dirinya dan gembira, pandangan dan sikap mereka terhadap dirinya dan orang lain akanpositif. Sebaliknya, apabila peserta didik merasa diremehkan, kurang diperhatikan, atau tidak kurang mendapat tanggapan yang positif atas sesuatu yang dikerjakannya, maka sikapnya terhadap dirinya dan lingkungannya menjadi negatif.
Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan rasa berharga di kalangan peserta didik, guru dituntut untuk:
·        Menghargai anak sebagai pribadi yang utuh
·        Menghargai pendapat dan pilihan siswa
·        Menerima kondisi siswa apa adanya serta menempatkan mereka dalam kelompok secara tepat berdasarkan pilihan masing-masing, tanpa adanya paksaan dari guru.
·        Dalam proses pembelajaran, guru harus menunjukkan kemampuan secara maksimal dan penuh percaya diri di hadapan peserta didiknya
·        Secara terus-menerus guru harus mengembangkan konsep diri siswa yang positif, menyadarkan siswa akan kelebihan dan kekurangan yang dimiliknya
·        Memberikan penilaian terhadap siswa secara objektif berdasarkan pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Artinya, guru harus mampu menilai perkembangan diri peserta didik secara menyeluruh dan bersifat psikologis, tidak semata-mata bersifat matematis
5)                          Kebutuhan akan rasa bebas
Peserta didik juga memiliki kebutuhan untuk merasa bebas, terhindar dari kungkungan-kungkungan dan ikatan-ikatan tertentu. Peserta didik yang merasa tidak bebas mengungkapkan apa yang terasa dalam hatinya atau tidak bebas melakukan apa yang diinginkannya, akan mengalami frustasi, merasa tertekan, konflik dan sebagainya. Oleh sebab itu, guru harus memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam batas-bataa kewajaran dan tidak membahayakan. Mereka harus diberi kesempatan dan bantuan secara memadai untuk mendapatkan kebebasan.
6)                          Kebutuhan akan rasa sukses
Peserta didik menginginkan agar setiap usaha yang dilakukannya di sekolah, terutama dalam bidang akademis berhasil dengan baik. Peserta didik akan merasa senang dan puas apabila pekerjaan yang dilakukannya berhasil, dan merasa kecewa apabila tidak berhasil. Ini menunjukkan bahwa rasa sukses merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi peserta didik. Untuk itu, guru harus mendorong peserta didiknya untuk mencapai keberhasilan dan prestasi yang tinggi, serta memberikan penghargaan atas prestasi yang dicapai, betapapun kecilnya, baik berupa ungkapan verbal maupun melalui ungkapan non-verbal.
Penghargaan yang tulus dari seorang guru akan menumbuhkan perasaan sukses dalam diri siswa, serta dapat mengembangkan sikap dan motivasi yang tinggi untuk terus berjuang mencapai kesuksesan. Kalaupun terdapat peserta didik yang gagal tetap perlu diberi penghargaan atas segala kemauan, semangat, dan keberaniannya dalam melakukan suatu aktivitas. Guru harus menghindari komentar-komentar ynag bernada negative atau menampakkan sikap tidak puas terhadap mereka yang gagal. Komentar-komentar negatif atau sikap tidak puas guru akan membuat peserta didik kehilangan kepercayaan diri, merasa tidak berharga dan putus asa.
7)  Kebutuhan akan agama
Sejak lahir, manusia telah membutuhkan agama. Ynag dimaksud agama dalam kehidupan adalh iman yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan dan dilaksanakan dalam tindakan, perbuatan, perkataan dan sikap.
Kebutuhan peserta didik khususnya yang beranjak remaja kadang-kadang tidak dapat dipenuhii apabila telah berhadapan dengan agama, nilai-nilai sosial dan adat kebiasaan, terutama apabila pertumbuhan sosialnya telah matang, yang seringkali menguasai pikirannya. Pertentangan tersebut semakin mempertajam keadaan bila reaja tersebut berhadapan dengan berbagi situai, misalnya film di televise maupun di layar lebar yang menayangkan adegan-adegan tidak sopan, mode pakaian yang seronok, buku-buku bacaan serta Koran yang sering menyajikan gambar yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah moral dan agama. Semuanya itu menyebabkan kebingungan bagi remaja yang tidak mempunyai dasar keagamaan dan keimanan. Oleh sebab itu, sangat penting dilaksanakan penanaman nilai-nilai moral dan agama serta nilai-nilai social dan akhlak kepada manusia khususnya bagi remaja sejak usia dini.
Remaja dalam perkembangannya akan menemui banyak hal yang dilarang oleh ajaran agama yang dianutnya. Hal ini akan menjadikan pertentangan antara pengetahuan dan keyakinan yang diperoleh dengan praktek masyarakat di lingkungannya. Oleh sebab itu pada situasi yang demikian ini peranan orangtua, guru maupun ulama sangat diperlukan.

C.   Langkah-Langkah Strategis Menejemen Pendidikan Agama Islam di Era ‎Globalisasi

Memperhatikan tuntutan era globalisasi di atas pendidikan agama Islam di ‎madrasah dan sekolah-sekolah umum dilaksanakan dengan beberapa strategi di ‎antaranya : pertama penyempurnaan kurikulum pendidikan agama agar materi ‎pelajarannya mencapai komposisi yang proporsional dan fungsional tetapi tidak ‎membebani siswa. Kedua, memadukan materi agama dengan materi pendidikan budi ‎pekerti misalnya PPKn atau pelajaran lainya yang terkait hal ini juga dapat mengikis ‎dikotomi ilmu. Ketiga, menciptakan kondisi agamis di lingkungan sekolah.‎
Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan strategis lainnya ‎antara lain :
  1. mengidentifikasi isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat ‎untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan ‎metode klarifikasi nilai
  2. mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam ‎pembelajaran pendidikan moral agar tercapai moral yang komprehensif yaitu kematangan ‎dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral,
  3. mengidentifikasi dan ‎menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para ‎guru di sekolah dan para orang tua murid di rumah dalam usaha membina perkembangan ‎moral siswa, serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,
  4. ‎mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat ‎digunakan sebagai bahan kajain dalam proses pendidikan moral,
  5. mengidentifikasi ‎sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral. Terkait ‎dengan pelajaran budi pekerti ini,sebenarnya telah banyak pelajaran yang diajarkan di ‎sekolah yang menitik beratkan pada etika moral dan adab yang santun seperti pendidikan ‎Agama, PPKn dan BK (Bimbingan Konseling)‎ ‎. ‎
Selanjutnya pengajaran agama Islam diajarkan sebagai perangkat system yang ‎satu sama lain saling terkait dan mendukung yang mencakup : guru agama yang layak dan ‎cocok tidak under qualified, tidak mismatch ‎, adanya kerja sama dengan guru mata ‎pelajaran lain, profesionalitas pimpinan sekolah, kurikulum yang baik , metode yang tepat ‎di antaranya metode praktek/ role playing , materi pembiasaan, sholat dzuhur berjamaah, ‎kelengkapan sarana dan masjid dan kerjasama orang tua tokoh formal, aparat ‎pemerintah.‎
Selanjutnya Husni Rahim mengajak pelaku pendidikan agama Islam di sekolah ‎formal untuk mempertegas visi pendidikan Islam dengan cakupan bahwa visi itu sebagai ‎berikut :
  1. Orientasi holistic artinya kesadaran sebagai pribadi ‎muslim di segala situasi dan kondisi terutama di sekolah, dengan menempatkan nilai-nilai ‎spiritual dan transedental dalam pencapaian tujuan pendidikan strategi pembelajaran yang ‎tidak verbalistik sehingga mudah dikembangkan ketrampilan dan wawasannya secara ‎terpadu,
  2. Populis yaitu Sekolah/ madrasah dilaksanakan dengan semangat yang ‎merakyat, karena manusia membutuhkan persaudaraan, saling kasih dan semangat ‎memberdayakan kaum tertindas berorientasi mutu yaitu dalam dua tataran : proses dan ‎hasil pendidikan ‎. ‎Selanjutnya Rahim menjelaskan proses tersebut dalam suasana pembelajaran ‎yang aktif dan dinamis serta konsisiten dengan program dan target pembelajaran. Adapun ‎hasilnya adalah output yang berkualitas dalam kognitif, afektif dan psikomotorik dan ‎pluralis pada lembaga pendidikan Islam yang harus tercermin dalam kurikulum dan proses ‎pendidikan ‎ guna mewujudkan cita-cita umat Islam Indonesia menjadi ulama yang ‎cendikia atau cendikia yang ulama.‎









BAB III
P E N U T U P

A.    SARAN
Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.
Masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah.
Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.
Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

B.   KESIMPULAN
Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara. Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya.
Dari penjelasan pada makalah ini, maka pemenuhan kenutuhan pada peserta didik amatlah diperlukan, hal ini berdasarkan pada peningkatan kualitas pembelajaran peserta didim itu sendiri. Karena memang peserta didik adalah titik focus atau yang menjadi sentral dalam pembelajaran itu sendiri, bukan hanya sebagai objek melainkanpulasebagai subjek pembelajaran.
Adapun beberapa kebutuhan peserta didik diantaranya adalah
1)    Kebutuhan jasmaniah
2)    Kebutuhan akan rasa aman
3)    Kebutuhan akan kasih sayang
4)    Kebutuhan akan penghargaan
5)    Kebutuhan akan rasa bebas
6)    Kebutuhan akan rasa sukses
7)    Kebutuhan akan agama









DAFTAR PUSTAKA

Depdikanas, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas.
Tilaar, 1992. Manajemen Pendidikan nasional ; Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Munandar, Utami, 1999. Kreativitas dan Keberbakatan; Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta : PT. Gramedia Pusataka Utama,
Husen dan Torsten, 1995. The Learning Society : Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Syah,Muhibbin, 1999. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Terbaru, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Gordon Dryden dan Jeannette Voss, 2000. Revolusi Cara Belajar bag.1, Bandung: Kaifa.
Asrori, Muhammad, H., Prof. Dr., M.Pd, 2007. Penelitian Tindakan Kelas, Bandung : CV. Wacana Prima.
Asrori, Muhammad, H., Prof. Dr., M.Pd, 2007. Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV. Wacana Prima.
Djamarah, Saeful Bahri, M.Ed., 2000. Psikologi Belajar Edisi 2, Jakarta : Bineka Cipta.
Makmun, Abin Syamsudin, 2008. Psikologi Pendidikan, Bandung : Rosda Karya Remaja.
Syah, Muhibbin, M.Pd., 2008. Psikologi Belajar, Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Sumiati, Dra. & Asra, M.Ed, 2007. Metode Pembelajaran, Bandung : CV. Wacana Prima.


Tidak ada komentar: