26 Maret 2011

Membangun Ketahanan Sekolah (Bag. 1)

Oleh : Didi Supriadi

BAGIAN 1 : PRAWACANA


“Belajarlah ilmu, lalu ajarkan ia pada orang lain.Belajarlah berlaku wibawa dan tenang kepada setiap orang.Berendah hati-lah baik kepada guru maupu kepada murid kalian.Jangan menjadi ulama yang sombong, yang kelihatannya pintar tetapi sejatinya bodoh”. (Pesan : Umar Bin Khotob)

Seperti ajaran para sosiolog, bahwa masyarakat bercirikan “dinamika”. Dinamisnya masyarakat ditandai dengan terus berkembangnya peradaban, dinamisnya para pakar yang terus mengkaji, meneliti, mencari dan menemukan, dan mengembangkan hasil temuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, teknologi, maupun seni. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, berdampak terhadap imaji yang sering terungkap; bahwa “dunia ini mengecil”, “dunia ini seperti tak berbatas”, atau dalam jargon lain mengatakan bahwa “kita hidup di era dunia yang mengglobal”, karena batas antar bangsa dan Negara menjadi “imajiner”, sehingga ini membenarkan teori difusi; yakni “perembesan” pengaruh akan terjadi dan saling mempengaruhi antara system yang satu dengan lainnya, baik dilakukan secara sengaja maupun tidak. Hal ini seperti disitir dalam “synopsis” Buku Keluar Dari Kemelut Pendidikan Nasional (1997) :
“ Abad 21 … memiliki karakteristik khusus, diantaranya mengejalanya keterbukaan dan persaingan global, serta kurang berfungsinya batas-batas territorial Negara. Salahsatu implikasinya, Indonesia harus siap membuka pasar bebas ASEAN yang diberlakukan pada tahun 2003 dan Pasar Bebas Asia Pasifik pada tahun 2020. Persoalannya, siapkah kualitas sumber daya manusia (SDM) kita berkompetisi dalam persaingan global ?, Oleh karenanya, Indonesia-mau tak mau-harus melihat kembali model “penggodokan” kualitas sumber daya manusianya” (Dawam Rahardjo : Editor). Jefry Sach (2005) A New Map of the World (Mastuhu 2007), mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dalam “peta baru dunia”, penduduk dunia dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok :

a.        Technological Inovator.
Mereka yang termasuk pada kelompok ini disebut sebagai ”the shapers. Jumlah mererka berkisar 15% dari jumlah penduduk dunia (15 % dari 6,6 Miliar orang) 2) Technological Adopter. Mereka adalah kelompok penduduk yang menyesuaikan diri dengan keputusan inovators-nya. Jumlah mereka berkisar 50% dari jumlah penduduk dunia (50% dari 6,6 Miliar orang) 3) Technological Excluded. Mereka adalah kelompok penduduk yang belum ”berkenalan” dengan sains dan teknologi modern. Jumlah mereka berkisar 35% dari jumlah penduduk dunia (35% dari 6,6 Miliar orang). Terkait dengan uraian di atas, saya pernah memiliki pengalaman pada tahun 2003, yakni ketika sebuah artikel tentang “Teknologi Informasi dan peranannya bagi perguruan tinggi” yang subtansi materinya mengulas tentang bagaimana setiap individu harus memiliki kemampuan dalam bidang teknologi informasi dan setiap lembaga pendidikan harus mampu memanfaatkan teknologi informasi ini untuk kepentingan administratif, maupun akademik.; ditayangkan di sesbuah harian lokal di suatu daerah, besok harinya muncul artikel yang mengkritisi tulisan saya.
Salahsatu inti kritikannya adalah ; “tulisan saya terlalu menggambarkan kecemasan, psimis, dan mengapa kita harus merasa ketakutan “. Kalaupun tidak berkembang menjadi sebuah polemik, saya merasa sangat berterima kasih, manakala masyarakat telah merasa siap dengan kondisi yang sedang kita jalani saat ini, kalaupun secara jujur, saya cemas, karena seperti dingatkan oleh ajaran Adler (psikolog), bahwa manusia memang perlu memiliki “kecemasan”. Mengapa ?. Manakala kita menggunakan pendekatan berpikir ”sebab akibat”, maka kita akan berhadapan dengan konsekuensi dan implikasi. Jika kita pertanyakan lagi, mengapa?. Pesatnya perkembangan teknologi informasi, seperti ajaran Ilmu Komunikasi, menuntut kecerdasan untuk menganalisis proses alur pesan hingga pada penerima pesan, yakni pentingnya menganalisis :“pengirim pesannya – isi pesannya – media pembawa pesan – penerima pesannya. Manakala dicermati alur tersebut dari sisi subjek, objeknya, dan subtansinya; siapa pengirimnya?, apa pesannya, media/teknologi mana penyalur atau pembawa pesan itu?, siapa sasaran penerima pesan tersebut?, apa tujuannya ?, apa impak lanjutnya ?, dst. Dan manakala hal di atas dirujuk kepada teori evaluasinya Stuffle Beam, kita diajarkan bahwa perlunya melakukan : “Evaluasi konteks - Evaluasi Input - Evaluasi Proses - Evaluasi Produk – Evaluasi Dampak “. Artinya ada hal yang penting dicermati secara telik bahwa teknologi informasi yang berkembang begitu pesat dengan kecanggihannya sebagai medium pembuat, pengelola dan pengirim pesan, agar subjek penerima dan atau yang memanfaatkan teknologi tersebut akan lebih bijak (wish) dan memiliki kecerdasan (smart) untuk menggunakan dan mengambil manfaatnya.
Selain uraian di atas, Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2003), Psikologi Lintas Budaya; mengingatkan bahwa: “Seiring semakin mengecilnya dunia dengan adanya globalisasi kapitalisme dan perkembangan teknologi serta informasi, kemungkinan bertemunya orang-orang dari berbagai belahan dunia semkalin besar pula. Pertemuan yang bukan hanya antar orang perorang semata, melainkan sesungguhnya juga antar budaya. Pertemuan antar individu yang sekaligus antar karakter budaya. Pertemuan yang saat ini tidak lagi harus real fisik melainkan dapat melalui media-media simbolik transmisioner : telepon, televisi, internet, dsb. Pertemuan-pertemuan tersebut tidak mungkin dihindari, jika kita masih ingin eksis dan berkompetisi, atau mengambil pilihan lain yaitu menghindar (withdrawl), ketinggalan wacana dan terpuruk pada akhirnya. Akibatnya adalah persoalan benturan budaya yang semakin mengemuka dan menuntut perhatian. 
Persoalan yang tidak sekadar menuntut pemecahan melainkan lebih pada pemahaman dan kesadaran akan keberagaman budaya yang membawa pada kemampuan beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan yang luas dan mengatasi konflik yang berakar pada perbedaan budaya, serta memenangkan globalisasi”. “…hubungan antar budaya adalah suatu tantangan besar bagi manusia. Di dalamnya terdapat kepastian akan adanya perbedaan-perbedaan yang kadang menyakitkan terutama ketika dihadapkan kepada pengambilan keputusan, kepastian akan kemungkinan mengalami konflik, kepastian untuk mau bekerja keras, belajar menerima perbedaan. … Disisi lain tantangan tersebut sesungguhnya juga memberikan kesempatan besar bagi umat manusia. Kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi dan keunikan masing-masing dan membuat lebih indah taman dunia dengan bunga yang beraneka warna. Namun demikian untuk dapat menemukan kesempatan tersebut mensyaratkan adanya keberanian dan kejujuran untuk melihat diri dan budaya sendiri sekaligus keberanian untuk membuka diri. Ketakutan, kekolotan dan seringkali kesombongan diri yang kaku, merasa budaya sendiri yang benar (ethnocentrism) kadang yang malah muncul dan menghalangi penilaian diri yang jujur dan menghambat diri untuk maju. Dari sejumlah esensi yang diuraikan di atas, tentu ada konsekuensi dan implikasi yang harus diantisipasi; yakni ada tuntutan kecerdasan dan kearifan. Kecerdasan dan kearifan dalam mencermati, mengakaji segala informasi, baik itu ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, bahkan barang maupun jasa; baik yang dikemas dalam bentuk real fisik maupun kemasan nirfisik yang disampaikan melalui media teknologis dan nonbooks material. Menerima, mengelola, memilih dan memilah informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sangat penting untuk didekati secara cerdas dan arif sehingga tidak merusak tatanan nilai, moral, sosial, budaya, ideology, terlebih merusak keyakinan dan akidah. Sejalan dengan ini; Letjen (Purn) H. Tirtosudiro (Pada Sambutan Pembukaan Lokakarya Nasional tentang “Peranan Hukum, Agama dan Media Massa Dalam Menanggulangi Pornografi”) yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Wanita Islam,tanggal 29-30 April 2002, mengingatkan : “… sekarang ini yang sangat sukar diawasinya kalau orang tua tidak hati-hati mengikuti perkembangan zaman, melalui internet kita bisa bertukar fikiran, bisa bercakap-cakap dengan siapa saja, melihat pertunjukkan yang berkualifikasi pornografi”. Dengan demikian kecerdasan dan kearifan itu pula akan diperlukan untuk menghindarkan benturan budaya dengan segala aspeknya. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah mencari strategi untuk menjaga, memilihara, dan terus mengembangkan ketahan bangsa dan Negara, ketahanan masyarakat, ketahanan lembaga social dan ketahanan sekolah, ketahanan keluarga dan ketahanan diri seiring dengan terus megikuti dinamisnya masyarakat dunia yang menglobal ini. Persoalan lain adalah bagaimana kita memposisikan dan memerankan diri, karena posisi mengindikasikan dimana seseorang berada dalam sebuah ruang (sosial), sedang peran (sosial) adalah perilaku yang ditentukan dan diharapkan karena suatu posisi tertentu yang ditempati seseorang, oleh karena itu bagaimana kita memandang, memposisikan dan memerankan diri sejalan dengan lembaga sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan anak-anak bangsa ini harus memiliki ketahan budaya yang kuat dan tepat. Tulisan ini, mencoba memapar atau paling tidak merajut ajaran dan menyusun pesan tentang bagaimana “Membangun dan Mengembangkan Ketahanan Sekolah”, sehingga filosofi sekolah sebagai lembaga pendidikan akan terpelihara atmosfir dan kulturnya sebagai sebuah lembaga yang akan mengantarkan anak didiknya menjadi anak bangsa yang “kaffah”; seperti kepercayaan yang telah melekat pada masyarakat, bangsa, Negara, keluarga, dan setiap individu anak.

Tidak ada komentar: